BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama dan Masyarakat adalah 2 hal penting untuk kelangsungan
hidup. Kehidupan bermasyarakat akan berpengaruh dalam kehidupan beragama.
Begitu juga sebaliknya. Tidak ada manusia di dunia ini yang bisa hidup tanpa
mempunyai pedoman. Untuk itu fungsi Agama dalam bermasyarakat memainkan peran
fital untuk kehidupan seseorang.
B. Tujuan
Pemenuhan nilai tugas mata kuliah
sosial dasar
Pembahasan lebih detail mengenai Agama
dan Masyarakat
BAB II
PEMBAHASAN
· Agama dan Masyarakat
Kaitan agama dan masyarakat banyak dibuktikan oleh
pengetahuan agama yang meliputi penulisan sejarah dan figure nabi dalam
mengubah kehidupan sosial, argumentasi rasional tentang arti dan hakikat
kehidupan, tentang Tuhan dan kesadaran akan maut menimpulkan relegi, dan sila
Ketuhanan Yang Maha Esa sampai pada pengalaman agamanya para tasauf.
Membicarakan peranan agama dalam kehidupan sosial menyangkut
dua hal yang sudah tentu hubungannya erat, memiliki aspek-aspek yang
terpelihara. Yaitu pengaruh dari cita-cita agama dan etika agama dalam
kehidupan individu dari kelas sosial dan grup sosial, perseorangan dan
kolektivitas, dan mencakup kebiasaan dan cara semua unsure asing agama
diwarnainya.
Karena latar belakang sosial yang berbeda dari masyarakat
agama, maka masyarakat akan memiliki sikap dan nilai yang berbeda pula.
Kebutuhan dan pandangan kelompok terhadap prinsip keagamaan bereda-beda, kadang
kala kepentingannya dapat tercermin atau tidak sama sekali. Karena itu
kebhinekaan kelompok dalam masyarakat akan mencerminkan perbedaan jenis
kebutuhan keagamaan.
Dalam proses sosial, hubungan nilai dan tujuan masyarakat
relative harus stabil dalam setiap momen. Bila terjadi perubahan dan pergantian
bentuk sosial serta kurtural, hancurnya bentuk sosial dan cultural lama, masyarakat
dipengaruhi oleh berbagai perubahan sosial. Setiap kelompok berbeda dalam
kepekaan agama dan cara merasakan titik kritisnya.
Salah satu kasus akibat tidak terlembaganya agama adalah
“anomi”, yaitu keadaan disorganisasi sosial di mana bentuk sosial dan kultur
yang telah mapan menjadi ambruk. Hal ini, pertama, disebabkan oleh hilangnya
solidaritas apabila kelompok lama di mana individu merasa aman dan responsive
dengan kelompok tersebut cenderung ambruk.
1. Fungsi Agama
Untuk mendiskusikan fungsi agama dalam masyarakat ada tiga
aspek penting yang selalu dipelajari, yaitu :
1.
Kebudayaan
2.
Sistem sosial
3.
Kepriadian
Ketiga aspek tersebut merupakan kompleks fenomena sosial
terpadu yang pengaruhnya dapat diamati dalam perilaku manusia, sehingga timbul
pertanyaan, sejauh mana fungsi lembaga agama dalam memelihara sistem, apakah
lembaga agama terhadap kebudayaan sebagai sistem. Pertanyaan itu timbu sebab,
sejak dulu sampai saat ini, agama itumasih ada dan mempunyai fungsi, bahkan
memerankan sejumlah fungsi.
Sebagai kerangka acuan penelitian empiris, teori fungsional
memandang masyarakat sebagai suatu lembaga sosial yang seimbang. Manusia
mementaskan dan menolakan kegiatannya menurut norma yang berlaku umum, peranan
serta statusya. Lembaga yang demikian kompleks ini secara keseluruhan merupakan
sistem sosial, di mana setiap unsur dari kelembagaan itu saling bergantung dan
menemukan semua unsur lainnya.
Teori fungsional dalam melihat kebudayaan pengertiannya
adalah, bahwa kebudayaan itu berwujud suatu kompleks dari ide-ide, gagasan,
nilai-nilai,norma-norma, peraturan, dan sistem sosial yang terdiri dari
aktivitas-aktivitas manusia-manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta
bergaul satu dengan lain, setiap saat mengikuti pola-pola tertentu berdasarkan
ada tata kelakuan, bersifat kongkret terjadi di sekeliling.
Manusia yang berbudaya menganut berbagai nilai, gagasan, dan
orientasi yang terpola mempengaruhi perilaku, bertindak dalam konteks
terlembaga dalam lembaga situasi, di mana peranan dipaksakan oleh sanksi
positif dan negatif, menolakan penampilannya, tetapi yang bertindak, berpikir
dan merasa adalah individu.
Teori fungsionalisme melihat agama sebagai penyebab sosial
yang dominan dalam terbentuknya lapisan sosial, perasaan agama, dan termasuk
konflik sosial. Agama dipandag sebagai lembaga sosial yang menjawab kebutuhan
mendasar yang dapat dipenuhi kubutuhan nilai-nilai duniawi. Tetapi tidak
menguntik hakikat apa yang ada di luar atau referensi transcendental.
Aksioma teori fungsional agama adalah, segala sesuatu yang
tidak berfungsi akan lenyap dengan sendirinya, karena agama sejak dulu sampai
saat ini masih ada, mempunyai fungsi, dan bahkan memerankan sejumlah fungsi.
Teori fungsionalis agama juga memandang kebutuhan “sesuatu yang
mentransendensikan pengalaman” (referensi transdental) sebagai dasar dari
karakteristik dasar.
Jadi, seorang fungsionalis memandang agama sebagai petunjuk
bagi manusia untuk mengatasi diri dari ketidakpastian, ketidakberdayaan, dan
kelangkaan dan agama dipandang sebagai mekanisme penyesuaian yang paling dasar
terhadap unsure-unsur tersebut.
Fungsi agama dalam pengukuhan nilai-nilai, bersumber pada
kerangka acuan yang bersifat sacral, maka normanya pun dikukuhan dengan
sanksi-sanksi sacral. Dalam setiap masyarakat sanksi sacral mempunyai kekuatan
memaksa istimewa, karena ganjaran dan hukumannya bersifat duniawi dan
sumpramanusiawi dan ukhrowi.
Masalah fungsionalisme agama dapat dianalisis lebih mudah
pada komitmen agama, dimensi komitmen agama, menurut Roland Robertson
diklasifikasikan berupa keyakinan, praktek, pengalaman, pengetahuan, dan
konsekuensi.
a.
Dimensi keyakinan mengandung perkiraan atau
harapan bahwa orang yang religious akan menganut pandangan teologis tertentu
b.
Praktek agama mencakup perbuatan-perbuatan
memuja dan berbakti, yaitu perbuatan untuk melaksanakan komitmen agama secara
nyata. Ini menyangkut, pertama ritual. Kedua berbakti dan tidak bersifat
formal.
c.
Dimensi pengalaman memperhitungkan fakta, bahwa
semua agama mempunyai perkiraan tertentu
d.
Dimensi pengetahuan dikaitkan dengan perkiraan, bahwa
orang-orang yang bersikap religious akan memiliki informasi tenang
ajaran-ajaran pokok keyakinan dan upacara keagamaan
e.
Dimensi konsekuensi dari komitmen religious
berbeda dengan tingkahlaku perseorangan dan pembentuka citra pribadinya
· Masyarakat-masyarakat Industri
Sekular
Masyarakat industri bercirikan dinamika dan semakin
berpengaruh terhadap semua aspek kehidupan, sebagian besar
penyesuaian-penyesuaian terhadap alam fisik, tetapi yang penting adalah
penyesuaian-penyesuaian dalam hubungan kemanusiaan sendiri.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai
konsekuensi penting bagi agama. Salah satu akibatnya adalah anggota masyarakat
semakin terbiasa menggunakan metode empiris berdasarkan pealaran dan efisiensi
dalam menanggapi masalah kemanusiaan, sehingga lingkungan yang bersifat secular
semakin luas, sering kali dengan pengorbanan lingkungan yang sakral.
Pernyataan diatas menimbulkan pertanyaan, apakah masyarakat
secular akan mampu secara efektif mempertahankan ketertiban umum tanpa
kekerasaninstitusional apabila pengaruh agama telah semakin berkurang.
Barangkali agama akan bereaksi terhadap institusionalisme, impersonalitas, dan
birokrasi masyarakat modern yang semakin bertambah.
2. Pelembagaan Agama
Agama begitu universal, permanen, dan mengatur dalam
kehidupan, sehingga bila tidak memahami agama, akan sukar memahami masyarakat.
Hal yang perlu dijawab dalam memahami lembaga agama adalah, apa dan mengapa
agama ada, unsur-unsur dan bentuknya serta fungsi dan struktur agama.
Kaitan agama dengan masyarakat dapat mencerminkan dua tipe :
a.
Masyarakat yang Terbelakang dan Nilai-nilai
Sakral
b.
Masyarakat-masyarakat Praindustri yang Sedang
Berkembang
Kebiasaan pandangan emosional ini akibat agama dengan segala
sifatnya melibatkan nilai-nilai dasar yang menyebabkan agama itu hampir tidak
mungkin dipandang dengan sikap yang netral. Pengamat biasanya sampai pada
kesimpulan, bahwa agama bersifat mengelabui pikiran dan terbelakang, atau
menyimpulkan agama bagi penganutnya terbaik dan tertinggi.
Pendekatan rasional terhadap agama dengan penjelasan ilmiah
biasanya akan mengacu dan berpedoman pada tingkah laku yang sifatnya ekonomis
dan teknologis, dan tentu kurang baik. Karena dalam tingkah laku unsur rasional
akan lebih banyak, dan bila dikaitkan dengan agama yang melibatkan unsur-unsur
pengetahuan di luar jangkauan manusia, seperangkat symbol dan keyakinan yang
kuat.
Bila sifat rasional penuh dalam membahas agama yang ada pada
manusia, maka berarti bersifat monagama. Karena itu pendekatan dalam memandang
agama hanya sebagai suatu gejala (fenomena) atau kejadian. Ilmuwan yang
menganut pandangan ini, juga akhirnya kecewa mengetahui adannya manusia dengan
sifat nonrasional mutlak atau terus-menerus nonrasional. Akhirnya ilmuwan akan
kembali kepada interprestasi biologis, yang mengganggap bahwa agama dalah
ungkapan perasaan yang bersifat naluri.
Agama melalui wahyunya atau kitab sucinya memberikan
petunjuk kepada manusia guna memenuhi kebutuhan mendasar, yaitu selamat di
dunia dan selamat di akhirat, di dalam perjuangannya tentu tidak boleh lalai.
Untuk kepentingan tersebut perlu jaminan yang memberikan rasa aman bagi
pemeluknya. Maka agama masuk dalam sistem kelembagaan dan menjadi sesuatu yang
rutin.
Bermula dari para ahli agama yang mempunyai pengalaman agama
kharismatik akan melahirkan suatu bentuk perkumpulan keagamaan, yang kemudian
menjadi prganisasi keagmaan terlembaga. Pengunduran diri atau kematian figure
kharismatik, akan melairkan krisis kesinambungan. Analisis yang perlu adalah
mencoba memasukkan struktur dan pengalaman agama, sebab pengalaman agama,
apabila dibicarakan, akan terbatas pada orang yang mengalaminya.
Dari contoh sosial, lembaga keagamaan berkembang sebagai
pola ibadah, pola ide-ide, ketentuan, dan tambil sebagai bentuk asosiasi atau
organisasi. Pelembagaan agama puncaknya terjadi pada tingkat intelektual,
tingkat pemujaan, dan tingkat organisasi.
Daftar
Pustaka
e-learning Universitas Gunadarma
Komentar
Posting Komentar