BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Pendidikan Kewarganegaraan tidak bisa dipisahkan dari
kehidupan bernegara. Oleh karena itu, penanaman sikap berbangsa & bernegara
harus ditanamkan sejak usia dini. Kurikulum pendidikan sudah disesuaikan untuk merealisasikan
sikap tersebut. Sedari SD kita diharapkan sudah memahami konsep bernegara.
Namun pada kenyataannya pada zaman sekarang poin poin yang
sudah ditanamkan sejak dulu sudah menguap seiring dengan berjalannya waktu.
Sikap sikap bernegara kian hilang pada diri pemuda pemudi. Namun tidak sedikit
juga pemuda pemudi yang masih memegang teguh sikap bernegara. Tidak jarang
mereka mengaplikasikannya dengan berbagai cara.
1.2 Tujuan Penulisan
·
Mengenal apa itu Pendidikan Kewarganegaraan
·
Pengenalan landasan hukum Pendidikan
Kewarganegaraan
BAB II
Pembahasan
2.1 Pendidikan
Kewarganegaraan
Pendidikan moral terdiri dari Pendidikan dan Kewarganegaraan.
Pendidikan Kewarganegaraan hampir sama fungsinya dengan Pendidikan Pancasila.
Bahkan Pendidikan Kewarganegaraan menjadi acuan untuk bahan pembelajaran
Pendidikan Pancasila. Seperti diketahui bersama, Pendidikan Kewarganegaraan dan
Pendidikan Pancasila memiliki peran penting untuk membangun pola pikir pemuda
pemudi generasi penerus bangsa.
Kewarganegaraan merupakan keanggotaan seseorang dalam
mengendalikan unit politik tertentu (khususnya: negara) yang disertai dengan
hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik. Seseorang dengan keanggotaan
yang disebut warga tersebut. Seorang warga negara berhak memiliki paspor dari
negara mana dia berada. Kewarganegaraan merupakan bagian dari konsep kewargaan “citizenship”.
Dalam pengertian ini, warga suatu kota atau kabupaten disebut sebagai warga
penduduk kota atau kabupaten, karena mereka juga merupakan unit politik. Dalam
otonomi, kewarganegaraan menjadi penting, karena masing-masing unit politik
akan memberikan hak pemegang (biasanya sosial) yang berbeda bagi warganya.
Kewarganegaraan
memiliki kemiripan dengan kebangsaan “nationality”. Perbedaannya adalah hak
untuk aktif dalam politik. Hal ini dimungkinkan untuk memiliki kewarganegaraan
tanpa warga negara (misalnya, oleh hukum adalah subyek suatu negara dan berhak
atas perlindungan tanpa memiliki hak untuk berpartisipasi dalam politik). Hal
ini juga memungkinkan untuk memiliki hak politik tanpa menjadi anggota sebuah
negara bangsa.
Di
bawah teori kontrak sosial, status kewarganegaraan memiliki implikasi hak-hak
dan kewajiban. Dalam filosofi “kewarganegaraan aktif”, seorang warga negara wajib
memberikan kontribusi kemampuannya untuk memperbaiki masyarakat melalui
partisipasi ekonomi, layanan publik, kerja sukarela, dan kegiatan lain yang
sejenis untuk meningkatkan mata pencaharian masyarakatnya. Dari pemikiran ini
muncul mata pelajaran Kewarganegaraan “Civics” yang diberikan di
sekolah-sekolah.
2.2 Landasan Hukum Pendidikan
Kewarganegaraan
Pendidikan
Kewarganegaraan sebagai penunjang aspek kehidupan benegara juga memiliki
landasan hukum yang kuat. Berikut landasan hukum pendidikan kewarganegaraan
- UUD NRI 1945
- UU RI No. 9 Tahun 1992 tentang keimigrasian
- UU RI No. 1 Tahun 1979 tentang ekstradisi
- UU RI No. 12 Tahun 2005 tentang covenan
Internasional Hak-hak sipil dan politik
- Peraturan Pemerintah RI No. 18 Tahun 2005 tentang
perubahan atas peraturan pemerintah No. 32 Tahun 1994 tentang visa, izin
masuk, dan izin keimigrasian.
- Peraturan Menteri hukum dan Hak asasi manusia RI No.
M.02-HL.05.06 Tahun 2006 Tentang tata cara menyampaikan pernyataan untuk
menjadi warganegara Indonesia.
- Peraturan Menteru Hukum dan Hak asasi Manusia RI No.
M.01-HL.03.03 Tahun 2006 tentang tata cara pendaftaran untuk memperoleh
kawarganegaraan RI.
BAB
III
Kesimpulan
Pendidikan adalah
usaha sadar dan terencanna untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didiik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya
,masyarakat,bangsa dan Negara.
Daftar Pustaka
Komentar
Posting Komentar